MK kabulkan gugatan tolak RSBI
Mahkamah dalam pertimbangannya menyebut
SBI dan RSBI yang menitikberatkan pengajaran dengan pengantar bahasa Inggris
mengaburkan "kebanggaan terhadap bahasa Indonesia" serta menunjukkan
diskriminasi terhadap peserta didik karena mayoritas hanya dinikmati oleh siswa
berpunya.
"Istilah berstandar internasional
dalam pasal 50 ayat 3 dalam UU Sisdiknas dengan pemahaman dan praktek yang
menekankan pada penguasaan bahasa asing dalam tiap jenjang dan satuan
pendidikan sangat berpotensi mengikis kebanggan terhadap bahasa dan budaya
nasional Indonesia," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman yang turut
membacakan putusan Mahkamah pada Selasa (08/01).
Mahkamah juga mempersoalkan biaya RSBI
yang jauh diatas rata-rata biaya sekolah standar nasional sehingga hampir
mustahil dijangkau siswa dari keluarga miskin.
Meski ada skema beasiswa, menurut
Mahkamah, biaya tetap menjadi persoalan mendasar dalam model SBI/RSBI sehingga
muncul kesan sistem ini diterapkan untuk mendapat keuntungan.
"Pendidikan berkualitas menjadi
barang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu... Disamping
menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap akses pendidikan juga mengakibatkan
komersialisasi pendidikan, " tambah Hakim Anwar.
Keputusan ini disambut hangat oleh para
penggugat dari Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan.
Persoalan utama dalam gugatan uji
materiil ini, kata anggota koalisis Retno Listyarti, adalah faktor keadilan.
"Dengan biaya tinggi, mana mungkin
siswa miskin bisa mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di RSBI?"
kata Retno yang juga guru di sebuah SMA Negeri di Jakarta.
Dari delapan Hakim anggota Mahkamah
Konstitusi, Hakim Ahmad Sodiki memberikan pendapat berbeda (dissenting
opinion) dengan menegaskan Mahkamah seharusnya menolak gugatan ini.
Sekolah internasional sebelumnya
didominasi swasta dengan biaya hingga ratusan juta.
Menurut Sodiki, Mahkamah seharusnya
menangani gugatan terkait norma pendidikan, bukan kasus kongkrit mengenai
keberadaan RSBI. Dengan kata lain jika yang dipersoalkan adalah bahasa Inggris
sebagai pengantar dan diskriminasi karena biaya RSBI, maka kebijakan tentang
RSBI sendiri mestinya tetap sah berlaku, bukan dihilangkan.
"Jika ada upaya lebih serius
mengajarkan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, itu tidak lepas dari praktek
pengajaran bahasa Inggris yang selama ini kurang berhasil. Berapa ribu
mahasiswa perguruan tinggi yang walaupun telah belajar bahasa Inggris kurang
lebih enam tahun sejak SMP-SMA tetap saja tidak menguasai bahasa tersebut
dengan baik," tegas Sodiki.
"Ketakutan mempelajari bahasa
asing dengan dalih kehilangan jati diri bangsa adalah berlebihan."
Hakim Konstitusi Ahmad Sodiki
"Ketakutan mempelajari bahasa
asing dengan dalih kehilangan jati diri bangsa adalah berlebihan," tandas
Sodiki.
Hakim Konstitusi ini juga menegaskan
praktek penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di berbagai sekolah
dan pesantren selama bertahun-tahun di Indonesia tak pernah menunjukkan adanya
pengikisan kebanggaan berbahasa Indonesia dan terkikisnya jati diri murid
selaku warga Indoensia.
Malah ketidakmampuan berbahasa Inggris
juga sangat merugikan karena membuat banyak warga Indonesia kalah bersaing
dengan warga bangsa lain.
Namun menurut pegiat pendidikan
Darmaningtyas, argumen tersebut tidak mendalam.
"Hakim hanya melihat RSBI dari
sudut teks, bukan konteks. Di lapangan sangat berbeda," ujarnya.
Dalam realitas menurut Dramaningtyas,
kewajiban menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar setidaknya untuk
pelajaran bidang sains dan matematika, justru menyesatkan murid dan berpotensi
malah menurunkan kualitas ajar.
"Yang diajarin enggak ngerti, yang
mengajar juga enggak ngerti. Malah turun kualitasnya," tegas
Darmaningtyas.
Nasib
RSBI berikutnya
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar
1300 RSBI berstatus sekolah negeri.
Peluang siswa dari keluarga miskin
kecil untuk masuk RSBI atau kelas internasional.
Rata-rata sekolah memiliki kelas
standar nasional, kemudian kelas RSBI dan bahkan kemudian 'kelas
internasional'.
"Kelas internasional ini yang
memungut biaya luar biasa. Sampai Rp40 juta per tahun," kata Retno
Listyarti.
Dengan hitungan kasar, menurut Retno,
biaya untuk sekolah RSBI rata-rata mencapai sekitar Rp10 juta per tahun di
Jakarta. Ini berarti hanya sepertempat biaya kelas internasional. Tetapi kelas
standar nasional lebih murah lagi, karena untuk wilayah seperti Jakarta, tak
ada biaya alias gratis.
"Inilah letak masalahnya.
Manajemen sekolah mendapat uang dari RSBI ini. Dan tidak ada kontrol berapa
biaya maksimal yang boleh dipungut oleh sekolah."
Retno Listyarti
"Inilah letak masalahnya.
Manajemen sekolah mendapat uang dari RSBI ini. Dan tidak ada kontrol berapa
biaya maksimal yang boleh dipungut oleh sekolah," tambah Retno berapi-api.
Besaran biaya itu menurutnya tak
menghasilkan lonjakan mutu yang berarti karena sebagian besar dilarikan pada
fasilitas fisik.
"Ada tambahan kelas ber-AC,
proyektor, bahkan CCTV segala."
Sementara untuk kelas internasional,
beberapa sekolah mempekerjakan guru penutur bahasa asing asli (native)
sebagai jaminan pelajaran bahasa Inggris yang mumpuni. Gaji guru native
semacam ini ini Rp30 juta sebulan yang diklaim Retno sebagai bentuk
diskriminasi berikutnya.
Bagaimana nasib RSBI setelah keputusan
MK ini?
Kepala Biro Hukum Kementrian Pendidikan
dan kebudayaan yang hadir dalam sidang, Muslikh, mengatakan Kementerian
Pendidikan akan memikirkan langkah berikutnya.
Namun tanpa RSBI, model baru pendidikan
unggulan untuk sekolah di Indonesia harus dipikirkan kembali.
"Model-model harus kita ciptakan,
karena pendidikan yang baik tanpa memiliki model yang baik bagaimana kita akan
majukan pendidikan," katanya menanggapi putusan MK.
Tetapi Muslikh tak menjelaskan dengan
gamblang, seperti apa rancangan sekolah unggul pasca RSBI nanti.
"Membuat model lah ya, untuk
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa, misalnya. Semacam itu."
Sumber ;
Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga
BalasHapuskesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
keep update!Harga Yamaha Bison 2014