Kamis, 17 November 2011

jurnal

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS
Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_4.htm
I. ABSTRAK
                Disini kami akan menginformasikan mengenai penelitian tentang wajah koperasi pertanian dan nelayan, dengan tujuan  :  1. Mengetahui perkembangan Koperasi Tani  dan Nelayan 2. Mengetahui sejauh mana peran pertanian di Indonesia . 3. Alternative penngembangan koperasi pertanian di masa depan. 4. Permasalahan nelayan. Dengan melakukan studi di beberapa daerah di indonesia serta data-data yang telah ada menunjukkan bahwa pemanfaatan koperasi yang ada di indonesia berjalan belum maksimal itu di tinjau dari sektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Belum lagi  problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan.
II. PENDAHULUAN
II.1.LATAR BELAKANG
Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain.
KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas. Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mereka mewakili sekitar 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol.
Koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.


II.2.PERUMUSAN MASALAH
Koperasi di Indonesia telah berkembang cukup lama, bahkan koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangannya pada tahun 1960an hingga tahun 1970an. Dan oleh karena itu ada sebuah tinjauan kritis mengenai wajah koperasi tani dan nelayan di Indonesia mengenai beberapa hal, yakni :  1. Mengetahui perkembangan Koperasi Tani  dan Nelayan 2. Mengetahui sejauh mana peran pertanian di Indonesia . 3. Alternative penngembangan koperasi pertanian di masa depan.  4. Permasalahan nelayan.
II.3.TUJUAN
  1. Mengetahui perkembangan Koperasi Tani  dan Nelayan.
  2. Mengetahui sejauh mana peran pertanian di Indonesia.
  3. Alternative pengembangan koperasi pertanian di masa depan.
  4. Permasalahan nelayan.
II.4. METODE PENELITIAN
II.4.1. Lokasi
Studi ini dilakukan di Indonesia khususnya di daerah Otonomi dan Desa.
II.4.2. Metode Studi
Tehnik pengumpulan data diperoleh dari studi pustaka, Tehnik pengumpulan data primer dengan pengamatan dan diskusi, pengmatan  langsung di lapang, dengan menggunakan kuesioner.
II.4.3. Pengolahan Analisis Data
Pengelolaan analisa data dilakukan secara diskriftif reflektif.
III. PEMBAHASAN
III.1. Posisi Pertanian : Kini dan Ke Depan
Sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang dari 19%. Jika dimasukkan keseluruhan kegiatan off form yang terkait dan sering dinyatakan sebagai sektor agribisnis juga hanya mencakup 47%, sehingga dominasi pembentukan nilai tambah juga sudah berkurang dibandingkan dengan sektor-sektor di luar pertanian. Isue peran pertanian sebagai penyedia pangan, bentuk ketahanan pangan juga menurun derajat kepentingan nya.
Ditinjau dari unit pertanan terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Secara kasar dapat diperhitungkan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang bukan usaha mikro, oleh karena itu daya dukungnya sangat lemah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pekerja.
Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas. Thema ini menjadi penting untuk melihat arah kebijakan pertanian dalam jangka menengah dan panjang.  Melalui pandangan kritis mengenai koperasi dapat didasarkan pada posisi sektor pertanian yang semakin terbuka dan bebas. Dengan dasar bahwa proses liberalisasi perdagangan yang berdampak pada sektor pertanian dalam bentuk dihapuskan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terfokus. Sehingga pengekangan program pembangunan pertanian tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas, tetapi hanya dapat dilakukan secara lokal dan harus sesuai dengan potensi lokal. Olah karena itu prinsip pengembangan pertanian akan lebih bersifat insentif.
III.2. Sketsa Koperasi Pertanian di Masa Depan
“Restrukturisasi” merupakan pandangan masa depan mangenai perkembagan koperasi dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini saja hampir di semua KUD, unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi.
Kekuatan utama koperasi nelayan terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah, akan sangat di tentukan oleh polisi daerah hak itu akan diberikan kepada siapa ? Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru, sebab pengorganisasian pendaratan pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari “nelayan tangkap” menjadi “nelayan budidaya”, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Canada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut.
IV.PENUTUP
IV.1.KESIMPULAN
Dengan demikian pertanian di Indonesia masih menjadi lapangan pekeerjaan terbesar di Indonesia, walaupun begitu banyak sekali problematika yang terjadi hingga mempengaruhi corak koperasi pertanian di Indonesia hingga menghambat  perkembangannya. Untuk itu “Restrukturisasi” merupakan pandangan masa depan mangenai perkembagan koperasi dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil.
Sedangkan kekuatan utama koperasi nelayan terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah,dengan persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari “nelayan tangkap” menjadi “nelayan budidaya”, seperti yang Negara-negara di Eropa dan sebagian Asia yang telah melakukannya terlebih dahulu.
IV.2.DAFTAR PUSTAKA
Dr. Noer Soetrisno – Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
IV.3.REVIEW
Sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang dari 19%. Dengan unit pertanan terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. dengan omset dibawah 1 miliar/tahun.
Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana            perdagangan bebas.
“Restrukturisasi” merupakan pandangan masa depan mangenai perkembagan koperasi dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan.
Sementara itu, kekuatan utama koperasi nelayan terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah, Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru, sebab pengorganisasian pendaratan pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari “nelayan tangkap” menjadi “nelayan budidaya”,
Nama Kelompok:
  1. Rheza Arifiandhi                 (25210842)
  2. Vahmy Arria .F                   (28210343)
  3. Renaldi Aidil                       (25210720)
  4. Brian A.B. Leatemia            (21210446)
  5. Mathias Arfan Taufan D     (28210894)

jurnal

MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT


Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_4/artikel_4.htm
1. ABSTRAK
                Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia kegiatan koperasi mikar karena bengalami guncangan yang sangat hebat, karena pada saat itu keuangan Negara mengalami inflasi sebagai akibatnya banyak organisasi serta bidang usaha yang harus mengalami gulung tikar karena banyak mengalami kerugian. Karena masih sangat di butuhkan koperasi dari berbagai bidang usaha mulai muncul kembali dan melakukan beberapa variasi untuk mengembangkan usahanya antara lain koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Atau pun mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi.  Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual.   Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.

2. PENDAHULUAN
2.1. LATAR BELAKANG
Setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi.
Pada awalnya koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Kemudian koperasi juga telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain serta menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit,
Namun di banding peran koperasi di atas, masih lebih banyak hal yang tidak mendapat respon yang cukup baik dalam beberapa faktor. Faktor utama ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat.  Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.

2.2. PERUMUSAN MASALAH
pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut.
2.3. TUJUAN
Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini, maka di butuhkan jalan keluar dari kondisi tersebut. Untuk itu makalah ini di buat dengan tujuan sebagai berikut:
  1. Mengetahui seberapa besar peran koperasi dalam masyarakat Indonesia
  2. prospeknya dan strategi pengembangan yang dilakukan pada masa yang akan datang.
  3. pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut
2.4. METODE PENELITIAN
2.4.1.  Lokasi
Studi ini dilakukan di Indonesia khususnya di daerah Otonomi dan Desa.
2.4.2.  Metode Studi
Tehnik pengumpulan data diperoleh dari studi pustaka, Dinas Koperasi dan UKM serta instansi terkait baik tingkat propinsi maupun kabupaten berupa publikasi, dokumen, laporan kegiatan.
2.4.3. Pengolahan Analisis Data
Pengelolaan analisa data dilakukan secara diskriftif reflektif.

3. PEMBAHASAN
3.1.  KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank.
Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.
Tetapi diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor.  Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, walau seperti itu di masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi.  Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota.
3.2. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
                Faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup.
  1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
  2. Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
  3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
  4. Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
  5.  Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
6.    Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut   dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.
3.3. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi sebenarnya memiliki kinerja usaha yang sangat baik, seperti GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik dan Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya.  Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri.  Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk  berkembang.
Sebuah koperasi  di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha    dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar.  Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut.  Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi. karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual.   Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.  Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah.  Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah. Namun, dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih  tepat dan dibutuhkan.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Di media massa, berita negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti.    Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah.  Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional.  Namun, dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi  relatif terbatas.
4. PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Peran koperasi di Indonesia dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Selain itu koperasi juga telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain serta koperasi telah menjadi kegiatan dalam suatu organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Pada masa mendatang koperasi masih sangat di butuhkan oleh masyarakat . Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota.  Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu
4.2. DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi : Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)
Makalah ini di sampaikan dalam seminar pendalaman ekonomi rakyat, Koperasi, Jakarta, 21 Mei 2002
Tulisan ini merupakan bentuk tulisan ulang dari beberapa pemikiran yang di ajukan penulis dalam buku “MEMBANGUN KOPERASI PERTANIAN BERBASIS ANGGOTA” Djabarudin djohar dan Bayu Krisnamurthi (Ed). LSP2I. Inkopdit dan Yappika (2000) hasil kegiatan Fact-finding dan lokakarya local diselenggarakan atas kerjasama LSP2I. Yappika, dan PSP-IPB.
4.3. SARAN
Dua prasyarat dari pemikiran-pemikiran yang harus di lakukan.  Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri.  Dalam hal ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat menentukan.  Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat.  Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif.  Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan.
Nama Kelompok:
  1. Rheza Arifiandhi                 (25210842)
  2. Vahmy Arria .F                   (28210343)
  3. Renaldi Aidil                       (25210720)
  4. Brian A.B. Leatemia            (21210446)
  5. Mathias Arfan Taufan D     (28210894)

Senin, 07 November 2011

jurnal

JUDUL :  PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DAN KOPERASI
SEBAGAI SALAH SATU PILAR SISTEM KEUANGAN NASIONAL:
UPAYA KONKRIT MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN

Sumber : http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5Cwiloejo-1.pdf

Abstraksi

Kemiskinan merupakan suatu masalah yang harus di hadapi oleh semua Negara. Semua itu tanpa mempertimbangkan Negara itu berkembang maupun maju. Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Meskipun kontribusi UKM dalam PDB semakin besar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula, diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Tulisan ini mencoba untuk menguraikan peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam menunjang kegiatan UKM, walaupun porsinya sebagai alternatif pembiayaan masih lebih kecil dibandingkan lembaga-lembaga keuangan formal. Namun, hal ini menarik untuk dikaji sebab perkembangan LKM ternyata searah dengan perkembangan UKM sehingga dapat dinyatakan bahwa LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.
Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat dua hal yang layak direkomendasikan: pertama, memperkuat aspek kelembagaan LKM sebagaimana yang selama ini telah berjalan pada lembaga-lembaga keuangan formal yaitu mempercepat pengesahan RUU tentang LKM, dan kedua, komitmen yang kuat pada pengembangan UKM yang sinergi dengan LKM. Dan pada akhirnya upaya untuk memutus rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan cara yang produktif.

Bab 1
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak terlepas dari perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja. Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang diciptakan UMKM dalam tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari PDB). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 mencapai 42,4 juta, sedangkan  jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini tercatat 79,0 juta pekerja. Pertumbuhan PDB UMKM periode 2000 – 2003 ternyata lebih tinggi daripada total PDB, yang sumbangan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan Usaha Besar.
Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha menengah yang tangguh, seperti yang terjadi saat perkembangan usaha-usaha menengah di Korea Selatan dan Taiwan. Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan.
Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh UMKM khususnya pelaku Usaha Kecil dan Mikro (UKM)3 terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain.
Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga keuangan informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM karena sifatnya yang lebih fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal ini kemudian disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Namun sangat disayangkan, bahwa keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian nasional sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan (termasuk didalamnya BRI unit dan BPR), asuransi, perusahaan pembiayaan. Keberadaan perbankan telah diatur secara jelas dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dengan Bank Indonesia sebagai motor penggeraknya, bahkan terdapat penjaminan oleh pemerintah berupa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang semakin mengukuhkan keberadaan perbankan. Kondisi ini akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan keberadaan LKM yang telah jelas mempunyai kontribusi pada pelaku UKM yang peranannya dalam PDB sangat besar.
Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk transfer atau subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, yang dalam pepatah disebut “jangan berikan umpannya tapi berikanlah kailnya”, sehingga sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.

1.2 Perumusan Masalah
           
Kondisi tersebut di atas jika berjalan terus, maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Karena pelaku UKM pada dasarnya adalah lapisan masyarakat yang ditinjau dari besaran pendapatan lebih berpotensi mendekati masyarakat miskin, namun mereka masih mempunyai kemauan untuk melakukan usaha produktif. Jika UKM terus mendapat hambatan dalam berusaha - termasuk kesulitan mengaskes sumber-sumber pembiayaan – maka potensi menjadi masyarakat miskin akan menjadi kenyataan.
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat penting upaya untuk menjawab bagaimana memperluas akses-akses pembiayaan bagi para pelaku UKM dan pada saat yang bersamaan peranan LKM terus berkembang sekaligus mampu menjawab kebutuhan UKM walaupun porsinya masih terbatas. Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah:
(1) Bagaimana menjadikan LKM semakin berkembang bahkan menjadi salah satu pilar dari sistem keuangan nasional?
(2) Bagaimana meningkatkan peran LKM dalam mendukung pemberdayaan UKM?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang diinginkan dalam tulisan ini meliputi:
1.   Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
2. Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu pilar sistem keuangan nasional.
1.4 Metode Penelitian
alat analisis yang dipakai adalah bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang berasal dari buku teks maupun jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat penting, begitu pula diskusi dengan teman seprofesi guna mempertajam analisisnya.
Sementara Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) serta sumber lainnya yang terkait.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Lembaga Keuangan Mikro
       Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families” (Kompas, 15 Maret 2005). Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income households and their microenterprises). Sedangkan bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal misalnya pelepas uang.4
LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non bank adalah koperasi simpan pinjam (KSP), unit simpan pinjam (USP), lembaga dana kredit pedesaan (LDKP), baitul mal wattanwil (BMT), lembaga swadaya masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.


2.2 Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro Dan Permasalahannya
           
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terjadi seiring dengan perkembangan UKM serta masih banyaknya hambatan UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.5 Selain itu berkembangnya LKM juga tidak terlepas dari karakterisitik LKM yang memberikan kemudahan kepada pelaku UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan   Walaupun biaya atas dana pinjaman dari LKM lebih tinggi sedikit dari tingkat bunga perbankan, LKM memberikan kelebihan misalnya berupa tiadanya jaminan/agunan seperti yang dipersyaratkan oleh perbankan bahkan dalam beberapa jenis LKM pinjaman didasarkan pada kepercayaan karena biasanya peminjam beserta aktivitasnya sudah dikenal oleh LKM, kemudahan yang lain adalah pencairan dan pengembalian pinjaman yang fleksibel yang juga sering disesuaikan dengan cash flow peminjam.
Jenis LKM lebih banyak didominasi oleh Unit Simpan Pinjam (USP), namun dari aspek besarnya perputaran pinjaman lebih didominasi oleh perbankan yaitu BRI Unit dan BPR. Hal ini terjadi karena skim kredit yang ditawarkan oleh BRI Unit dan BPR lebih besar daripada USP. Perkembangan LKM dapat dilihat pada indikator tabel 4.






 Tabel 4
Beberapa Indikator Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro
No
Jenis LKM
Jumlah (Unit)
Simpan-an (RP-miliar)
Penyim-pan (juta rek)
Pinjam-an (Rp miliar)
Jumlah Pemin-jam (juta rek)
Rata-rata Pinjam-an (Rp juta)
1
BPR
2,148
9,254.00
5.61
9,431.00
2.40
3.93
2
BRI Unit
3,916
27,429.00
29.87
14,182.00
3.10
4.57
3
Badan Kredit Desa
5,345
0.38
0.48
0.20
0.40
0.00
4
KSP
1,097
85.00
n.a.
531.00
0.67
0.79
5
USP
35,218
1,157.00
n.a.
3,629.00
n.a.
n.a.
6
LDKP
2,272
334.00
n.a.
358.00
1.30
0.27
7
Pegadaian
264
-
-
157.70
0.02
9.34
8
BMT
3,038
209.00
n.a.
157.00
1.20
0.13
9
Credit Union & NGO
1,146
188.01
0.29
505.73
0.40
1.27
Total
54,444
38,656.39
36.25
28,951.00
9.48
3.05














jurnal


PERKEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN INDONESIA MENUJU INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS

1.Pendahuluan.
Standar akuntansi keuangan di Indonesia perlu mengadopsi IFRS untuk pelaporan keuangan Indonesia agar dapat diterima perusahaan-perusahaan di seluruh dunia dan Indonesia mampu memasuki persaingan global untuk menarik investor internasional. Indonesia berencana untuk sepenuhnya mengadopsi IFRS pada tahun 2012. Sebuah adopsi adalah wajib bagi perusahaan yang terdaftar dan multinasional. Keputusan apakah Indonesia akan sepenuhnya mengadopsi IFRS atau diadopsi sebagian untuk tujuan harmonisasi harus dipertimbangkan hati-hati. Penuh adopsi IFRS akan meningkatkan keandalan dan komparabilitas pelaporan keuangan internasional.
Jika Indonesia sepenuhnya mengadopsi IFRS pada tahun 2012, ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para akademis dan perusahaan-perusahaan. Kurikulum, kurikulum dan sastra harus disesuaikan untuk beradaptasi dengan perubahan. Ini membutuhkan waktu dan usaha karena banyak aspek terkait dengan perubahan. Penyesuaian juga harus dilakukan oleh perusahaan atau organisasi, terutama mereka dengan interaksi dan transaksi. Adopsi penuh juga berarti perubahan prinsip akuntansi ini telah diterapkan standar akuntansi di seluruh dunia. Hal ini tidak dapat dicapai dalam waktu singkat karena alasan standar akuntansi (1) beberapa erat terkait dengan sistem perpajakan. Penerapan IFRS internasional dapat mengubah sistem pajak di setiap negara untuk sepenuhnya mengadopsi IFRS. (2) standar akuntansi ini adalah kebijakan akuntansi untuk memenuhi kebutuhan nasional dan kebijakan ekonomi yang berbeda di setiap negara. Ini bisa menjadi tantangan utama dalam mengadopsi penuh IFRS.
2.Pembahasan.
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi).
Proses harmonisasi ini memiliki hambatan antara lain nasionalisme dan budaya tiap-tiap negara, perbedaan sistem pemerintahan pada tiap-tiap negara, perbedaan kepentingan antara perusahaan multinasional dengan perusahaan nasional yang sangat mempengaruhi proses harmonisasi antar negara, serta tingginya biaya untuk merubah prinsip akuntansi.
Pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi, persyaratan akan item-item pengungkapan akan semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan lebih dapat diperbandingkan dan menghasilkan informasi yang valid untuk aktiva, hutang, ekuitas, pendapatan dan beban perusahaan (Petreski, 2005).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mencanangkan bahwa Standar akuntansi internasional (IFRS) akan mulai berlaku di Indonesia pada tahun 2012 secara keseluruhan atau full adoption (sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2009). Pada tahun 2012 tersebut diharapkan Indonesia sudah mengadopsi keseluruhan IFRS, sedangkan khusus untuk perbankan diharapkan tahun 2010. Dengan pencanangan tersebut timbul permasalahan mengenai sejaumana adopsi IFRS dapat diterapkan dalam Laporan Keuangan di Indonesia, bagaimana sifat adopsi yang cocok apakah adopsi seluruh atau sebagian (harmonisasi), dan manfaat bagi perusahaan yang mengadopsi khususnya dan bagi perekonomian Indonesia pada umumnya, serta bagaimana kesiapan Indonesia untuk mengadopsi IFRS, mungkinkah tahun 2012 Indonesia mengadopsi penuh IFRS?
ANALISIS
Choi dan Mueller (1998) mendefinisikan akuntansi internasional adalah akuntansi internasional yang memperluas akuntansi yang bertujuan umum, yang berorientasi nasional, dalam arti yang luas untuk:
(1) analisa komparatif internasional,
(2) pengukuran dan isu-isu pelaporan akuntansinya yang unik bagi transaksi bisnis-bisnis internasional dan bentuk bisnis perusahaan multinasional,
(3) kebutuhan akuntansi bagi pasar-pasar keuangan internasional, dan
(4) harmonisasi akuntansi di seluruh dunia dan harmonisasi keragaman pelaporan keuangan melalui aktivitas-aktivitas politik, organisasi, profesi dan pembuatan standar.

IFRS (Internasional Financial Accounting Standard) adalah suatu upaya untuk memperkuat arsitektur keungan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan. Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan keungan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksukan dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang:
(1). Menghasilkan transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan.,
(2). menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS.,
(3). dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna. Indonesia perlu mengadopsi standar akuntansi internasional untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya.

Choi, et al. (1999) menyatakan bahwa Harmonisasi merupakan proses untuk meningkatkan kompatibilitas (kesesuaian) praktik akuntansi dengan menentukan batasan-batasan seberapa besar praktik-praktik tersebut dapat beragam. Standart harmonisasi ini bebas dari konflik logika dan dapat meningkatkan komparabilitas (daya banding) informasi keuangan yang berasal dari berbagai Negara. Saat ini harmonisasi standar akuntansi internasional menjadi isu hangat karena berhubungan erat dengan globalisasi dalam dunia bisnis yang terjadi saat ini. IASC (International Accounting Stadard Committe) adalah lembaga yang bertujuan merumuskan dan menerbitkan standar akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan dan mempromosikannya untuk bisa diterima secara luas di seluruh dunia, serta bekerja untuk pengembangan dan harmonisasi standar dan prosedur akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan (Choi & Mueller, 1998).
Kerugian apa yang akan kita hadapi bila kita tidak melakukan harmonisasi, kerugian kita berkaitan dengan kegiatan pasar modal baik modal yang masuk ke Indonesia, maupun perusahaan Indonesia yang listing di bursa efek di negara lain. Perusahaan asing yang ingin listing di BEI akan kesulitan untuk menerjemahkan laporan keuangannya dulu sesuai standart nasional kita, sedangkan perusahaan Indonesia yang akan listing di Negara lain, juga cukup kesulitan untuk menerjemahkan atau membandingkan laporan keuangan sesuai standart di negara tersebut. Hal ini jelas akan menghambat perekonomian dunia, dan aliran modal akan berkurang dan tidak mengglobal.
Menurut Nobes dan Parker (2002), rintangan yang paling fundamental dalam proses harmonisasi adalah:
 (1) perbedaan praktek akuntansi yang berlaku saat ini pada berbagai negara,
(2) kurangnya atau lemahnya tenaga profesional atau lembaga profesional di bidang akuntansi pada beberapa negara,
(3) perbedaan sistem politik dan ekonomi pada tiap-tiap negara.
Menurut Lecturer Ph. Diaconu Paul (2002), hambatan dalam menuju harmonisasi adalah:
(1) Nasionalisme tiap-tiap negara,
(2) Perbedaan sistem pemerintahan pada tiap-tiap negara,
(3) Perbedaan kepentingan antara perusahaan multinasional dengan perusahaan nasional yang sangat mempengaruhi proses harmonisasi antar negara,
(4) Tingginya biaya untuk merubah prinsip akuntansi.

3.Kesimpulan.
Standar Akuntansi Keuangan Indonesia perlu mengadopsi IFRS karena kebutuhan akan info keuangan yang bisa diakui secara global untuk dapat bersaing dan menarik investor secara global. Saat ini, adopsi yang dilakukan oleh PSAK Indonesia sifatnya adalah harmonisasi, belum adopsi secara utuh, namun indonesia mencanangkan akan adopsi seutuhnya IFRS pada tahun 2012. Adopsi ini wajib diterapkan terutama bagi perusahaan publik yang bersifat multinasoinal, untuk perusahaan non publik yang bersifat lokal tidak wajib diterapkan.
Perlu dipertimbangkan lebih jauh lagi sifat adopsi apa yang cocok diterapkan di Indonesia, apakah adopsi secara penuh IFRS atau adopsi IFRS yang bersifat harmonisasi yaitu mengadopsi IFRS disesuaikan dengan kondisi ekonomi, politik, dan sistem pemerintahan di Indonesia. Adopsi secara penuh IFRS akan meningkatkan keandalan dan daya banding informasi laporan keuangan secara internasional, namun adopsi seutuhnya akan bertentangan dengan sistem pajak pemerintahan Indonesia atau kondisi ekonomi dan politik lainnya. Hal ini merupakan rintangan dalam adopsi sepenuhnya IFRS di Indonesia.
Adopsi seutuhnya (full adoption) terhadap IFRS, berarti merubah prinsip-prinsip akuntansi yang selama ini telah dipakai menjadi suatu standar akuntansi berlaku secara internasional. Hal ini kemungkinan besar tidak akan dapat tercapai dalam waktu dekat, mengingat kendala yang dihadapi antaralain:
(1) standar akuntansi sangat berhubungan dengan sistem perpajakan. Sistem perpajakan setiap negara bervariasi. Jika prinsip akuntansi distandarkan secara internasional, berarti sistem perpajakannya juga harus distandarkan secara internasional, masalahnya mungkinkah ini terjadi? (2) standar akuntansi adalah suatu kebijakan akuntansi yang dibuat berdasarkan kebutuhan politik dan ekonomi suatu negara. Politik dan ekonomi setiap negara bervariasi, sehingga masalah politik dan ekonomi akan selalu menjadi hambatan dalam adopsi IFRS secara utuh dalam suatu negara.

4.Daftar pustaka.

Basir, Syarief. 2008. Adopsi Standar Auditing dan Assurance Internasional,
Sumber
American Institute Certified Public Accountants. 2008. IFRS Primer for Audit Committees. Newyork. www.IFRS.com. 1 April 2009.
Achmad, Fahmi. 2008. Bank wajib terapkan revisi PSAK pada 2010. Bisnis Indonesia. http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi harian/keuangan/1id39361.html
American Institute Certified Public Accountants. 2008. IFRS: An AICPA (American Institute Certified Public Accountants) Background. Newyork. www.IFRS.com. 1 April 2009.
American Institute Certified Public Accountants. 2008. IFRS Primer for Audit Committees. Newyork. www.IFRS.com. 1 April 2009.
Ashbaugh and Pincus. 1999. “Domestic Accounting Standard, International Accounting Standards, and The Predictability of Earning”.
Barth, Landsman and Lang. 2005. “International Accounting Standards and Accounting Quality”. Journal of Accounting.
Jurnal Ilmiah Berkala Enam Bulanan ISSN 1410 – 1831
”JURNAL AKUNTANSI DAN KEUANGAN”